Tugas Etika Profesi : Hak Cipta dan Contoh Kasus Hak Cipta
Tugas
Etika Profesi : Hak Cipta dan Contoh Kasus Hak Cipta
Hak Cipta :
Pada
awalnya konsep hak cipta di Indonesia adalah
terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya
"hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin
cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan
dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan
proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah,
bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap
karya cetak yang dapat disalin.
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works
(Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) pada tahun 1886
adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara
berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya
cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan
copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media,
si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya
tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara
eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut
selesai.
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari
Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya,
cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti. Pada tahun 1982,
Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan
Auteurswet 1912 Staatsblad No. 600 Tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang No.
6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang
pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan
Undang-undang No. 7 Tahun 1987, Undang-undang No. 12 Tahun 1997, dan pada
akhirnya dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 yang kini berlaku
Hak cipta menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, adalah hak khusus bagi
pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa
hak cipta itu hanya dapat dimiliki oleh si pencipta atau si penerima hak. Hanya
namanya yang disebut sebagai pemegang hak khususnya yang boleh menggunakan hak
cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap subjek lain yang
menggangu atau yang menggunakannya tidak dengan cara yang diperkenankan oleh
aturan hukum.
Hak cipta merupakan hak ekslusif, yang memberi arti bahwa selain pencipta
maka orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas izin penciptanya. Hak itu
muncul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan. Hak cipta tidak dapat
dilakukan dengan cara penyerahan nyata karena ia mempunyai sifat manunggal
dengan penciptanya dan bersifat tidak berwujud sesuai dengan penjelasan pasal 4
ayat 1 dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002. Sifat manunggal itu pula yang
menyebabkan hak cipta tidak dapat digadaikan, karena jika digadaikan itu
berarti si pencipta harus pula ikut beralih ke tangan kreditur.
Contoh Kasus Hak Cipta :
1.
Pembajakan Buku dan Sejenisnya
Di Indonesia,
seseorang dengan mudah dapat memfotokopi sebuah buku, padahal dalam buku
tersebut melekat hak cipta yang dimiliki oleh pengarang atau orang yang
ditunjuk oleh pengarang sehingga apabila kegiatan fotokopi dilakukan dan tanpa
memperoleh izin dari pemegang hak cipta maka dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hak cipta. Lain lagi dengan kegiatan penyewaan buku di taman
bacaan, masyarakat dan pengelola taman bacaan tidak sadar bahwa kegiatan
penyewaan buku semacam ini merupakan bentuk pelanggaran hak cipta. Kedua contoh
tersebut merupakan contoh kecil dari praktek pelanggaran hak cipta yang sering
dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat tidak menyadari bahwa tindakan yang
mereka lakukan adalah bentuk dari pelanggaran hak cipta.
Bentuk
pelanggaran hak cipta di atas adalah dengan sengaja mengumumkan atau
memperbanyak ciptaan pencipta atau pemegang hak cipta dan tanpa izin menyewakan
ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial. Pelanggaran hak
cipta ini melanggar pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 19 Tahun 2002, disebutkan
bahwa bagi mereka yang dengan sengaja atau tanpa hak melanggar hak cipta orang
lain dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah), sesuai dengan ketentuan pidana pasal 72 ayat (1) UU yang
sama.
2.
Pembajakan Perangkat Lunak
Pada awal tahun 2012 lalu kita dikejutkan oleh ditutupnya salah satu situs file
sharing terbesar, yakni Megaupload. Menurut informasi yang ada, hal ini terjadi
karena Megaupload dianggap mendukung pembajakan (piracy), karena dalam
situsnya memiliki berjuta-juta data illegal yang salah satunya berupa
perangkat lunak (software). Sehingga kasus ini sudah dianggap salah satu
kasus kejahatan hak cipta terbesar di dunia yang langsung menargetkan
penyalahgunaan situs penyimpanan konten dan distribusi publik untuk melakukan
kejahatan hak intelektual.
Kasus Megaupload ini sendiri dipandang melanggar ketentuan RUU yang dikenal
dengan nama SOPA (Stop Online Piracy Act) dan PIPA (PROTECT IP Act) yang mana
merupakan undang-undang terkait hasil pembajakan serta beragam produk digital
seperti film dan musik. Dari segi hukum Indonesia pun termasuk dalam pasal 25
UU ITE yang berbunyi: “Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang
disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang
ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”
Bentuk
pelanggaran hak cipta pada kasus ini adalah dengan sengaja dan tanpa hak
memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
Pelanggaran hak cipta ini melanggar pasal 72 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2002,
disebutkan bahwa bagi yang tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan
komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
3.
Pembajakan Lagu atau Album
Pembajakan lagu
pada album Koes Plus “ Dheg Dheg Plus”. Lagu tersebut dimiliki oleh Tommy
Darmo. Tommy Darmo melaporkan pihak laper RPM yang tiba-tiba merilis ulang lagu
tersebut. Kasus pelaporan pelanggaran hak cipta lagu tersebut dilaporkan ke
Polda Metro Jaya. RPM dianggap melanggar Undang-Undang No.12/2009 tentang hak
cipta lagu. Dimana, ia pun mengajukan gugatan dan meminta ganti rugi senilai
Rp. 9,9 Miliar.
Sumber
:
Komentar
Posting Komentar